Reformulasi Keberadaan Peradilan Militer di Indonesia

Facebook
Twitter
Google+
Pinterest

Sejatinya, peradilan militer berada di bawah naungan lingkungan Mahkamah Agung. Khususnya dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman terhadap berbagai jenis-jenis kejahatan yang terkait dengan tindak pidana militer. Sedangkan peradilan di Indonesia, keberadaanya diatur konstitusi.

Keberadaan pengaturan peradilan di Indonesia, diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Setidaknya pasal tersebut menegaskan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan perpadilan yang berada dalam lima lingkungan peradilan. Yakni, lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Lantas, susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan UU sebagaimana Pasal 24A ayat (5) UUD 1945. Sementara peradilan militer diatur melalui UU No.32 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Kewenangan peradilan militer berwenang dalam mengadili  tindak pidana (umum dan militer, red), tentunya yang tindak pidananya dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Sedianya memang, KUHP Militer mengatur norma substantif tindak pidana yang dilakukan oleh militer maupun tindak pidana lain. Sebab hal tersebut berujung untuk membedakan penentuan kompetensi pengadilan. Khususnya,  yang dititikberatkan pada subjek atau pelaku tindak pidana.

Sayangnya dalam praktik pasca reformasi 1998 silam, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menerbitkan Ketetapan No.VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian RI. Nah ketetapan MPR itulah menjadi landasan dasar pemisahan institusi Kepolisian dari TNI. Tak berhenti di situ, MPR kembali menerbitkan TAP MPR No.VII/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian RI untuk memperkuat Ketetapan  VI/2000.

Menariknya, TAP MPR No.VII/2000 misalnya, khususnya tertuang dalam Pasal 4 ayat (4) gamblang mengatur prajurit TNI tunduk terhadap kekuasaan peradilan militer bagi mereka yang melakukan pelanggaran hukum militer. Pun demikian prajurit TNI tunduk pula terhadap kekuasaan peradilan umum, ketika melakukan pelanggaran hukum pidana umum.

Nah implementasi Pasal 3 ayat (4) huruf a TAP MPR No.VII/2000 diwujudkan melalui Pasal 65 ayat (2) dan (3) UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Ayat (2) menyebutkan, “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”. Sedangkan ayat (3) menyebutkan, “Apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang”.

Rumusan norma Pasal 65 ayat (2) dan (3) sedianya menjadi implementasi prinsip perlakuan yang sama di depan hukum  alias equality before the law. Lagi pula, prinsip tersebut sudah tertuang gamblang  dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan  perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Nah maksud dari rumusan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 yakni terhadap setiap warga negara berhak tanpa terkecuali atas pengakuan dan perlindungan dari negara. Termasuk pula mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Tentunya yang adil dan persamaan bagi semua warga negara tanpa adanya perbedaan sedikit pun.

Atas dasar itulah, ketentuan UU Peradilan Militer beserta norma substantifnya sebagaimana tertuang dalam KUHP Militer sepanjang belum diamandemen, maka dipandang bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Selain itu bertentangan pula dengan TAP MPR RI NoVII/2000 dan UU 34/2004 tentang TNI.

Merisak keberadaan regulasi peradilan militer dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia, maka posisinya rentan diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi oleh masyarakat yang berani dan bersinggungan dengan TNI. Terlebih ketika ketentuan Pasal 65 ayat (2)  belum dapat diimplementasikan.

Pasalnya, masih adanya ketentuan peralihan sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1)  yang menyebutkan  “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan”. Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Selama undang-undang Peradilan Militer yang baru belum dibentuk, tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer”.

Namun faktanya, pengaturan prajurit TNI  agar  tunduk kepada peradilan umum tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan dalam praktik dan implementasinya masih  menjadi problematika psikologis tersendiri yang menarik untuk diperdalam dalam rangka menemukan jalan.

Problem psikologis

Sejak era reformasi 1998 hingga kini, berbagai tuntutan agar memproses prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili diperadilan umum masih menimbulkan resistensi di kalangan militer. Bahkan pula menjadi kegamangan di kalangan masyarakat sipil. Dari aspek psikis misalnya, menuai pertanyaan. Yakni terkait kesiapan prajurit  TNI dan aparat penegak hukum dalam menerapkan Pasal 65 UU 34/2004 dengan melakukan revisi UU 31/1997 dan KUHP Militer.

Sementara dominasi militer dalam memegang kekuasaan politik masa lalu menjadi beban psikologis tersendiri, ketika prajurit TNI diproses di peradilan umum. Terlebih lagi, diproses oleh penyidik Polri. Notabene, Polri dahulu berada di dalam struktur kelembagaanya di bawah TNI. Pada praktinya, tindakan mengklasifikasikan pelanggaran militer dan pelanggaran tindak pidana umum dapat dimaknai berbeda.

Yakni, adaya upaya menundukkan posisi militer di bawah kekuatan sipil. Nah langkah tersebit sudah barang tentu berpotensi menimbulkan gejolak keamanan dan politik di berbagai wilayah Indonesia. Padahal sedianya hal tersebut lumrah terjadi berbagai negara berkembang, di kala kekuatan militer mendominasi tataran kehidupan sosial politik kenegaraan. Ujungnya, pihak militer cenderung resistensi untuk mengikuti sistem hukum baru yang dibentuk oleh kekuatan sipil sebagaimana terjadi dan berlaku di negara-negara maju.

Resistensi dimaksud cenderung berdasarkan atas pengaturan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Ayat (2) menyebutkan, “Peradilan militer setara dengan peradilan umum yang berada di bawah Mahkamah Agung RI”.  Tak hanya itu, berlakunya pula Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang hingga kini  tetap berlaku. Bahkan  belum ada perubahan terhadap UU tersebut. Oleh karena itu, tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI dilaksanakan di peradilan militer.

Wacana tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI diadili di peradilan umum menurut Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jendral Sabrar Fadhilah memerlukan kajian khusus. Bahkan pendalaman dengan disertai dasar hukum yang jelas. Namun  demikian, tuntutan reformasi terhadap Peradilan Militer tak dapat terbendung. Sebab hal tersebut sudah diamanahkan TAP MPR RI No.VII/2000. Bahkan pula  diperkuat oleh TAP MPR No.I/2003. Khususnya, Pasal 4 ayat (6) dan (7) yang mengamanahkan TAP MPR VII/2000 tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang.

Secara filosofi, reformasi terhadap Peradilan Militer memang diperlukan. Sebab yuridiksi peradilan tidak melihat tindak pidana berdasarkan subyek pelaku.  Namun  berdasarkan delik atau kejahatan yang dilakukan. Oleh karena itulah  tidak pidana umum yang dilakukan anggota TNI seharusnya masuk dalam lingkungan peradilan pidana umum, dan bukan lagi menjadi ranah peradilan militer.

Sebab itulah peradilan militer semestinya berkutat pada tindak pidana yang berhubungan dengan military affair. Seperti desersi, spionase dan kejahatan perang lainnya. Namun negara Indonesia yang sedang berada dalam masa transisi menuju masyarakat madani, sebaiknya perlu berfikir lebih lanjut dalam mereformulasi peradilan militer secara mutlak.

Sebab itulah diperlukan jalan tengah agar dapat mengkompromikan, setidaknya menyesuaikan dengan situasi, kondisi di Indonesia, tanpa melanggar amanah TAP MPR RI No.VII/2000 dan Pasal 65 UU No.34/2000.  Terlebih, kompromi dan adaptasi dalam sistem hukum Indonesia bukanlah hal yang baru. Oleh karena itulah  sistem hukum Indonesia saat ini pun dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem hukum antara Eropa Kontinental, Hukum Adat, Hukum Agama khususnya Hukum Syariah Islam, dan sistem hukum Anglo-Saxon.

Sedianya dalam praktik peradilan di Indonesia, pihak militer tidak berkeberatan ketika prajuritnya diproses di peradilan umum. Buktinya, prajurit TNI yang diduga melakukan tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat diproses di peradilan umum. Yakni para perwira tinggi TNI diproses oleh penyidik Kejaksaan dan disidang di peradilan Umum.

Tak hanya itu, peran Jaksa Agung dalam penjelasan Pasal 57  UU Peradilan Militer, menyebutkan dalam melaksanakan tugasnya di bidang teknis penuntutan, oditur jenderal (penuntut umum yang selama ini diperankan oleh militer, red), bertanggung jawab kepada Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi di negara RI melalui panglima (panglima TNI) dan dalam pelaksanaan tugas pembinaan, oditurat bertanggung jawab kepada panglima (panglima TNI, red).

Dalam praktiknya memang diperlukan penyesuaian dengan berbagai situasi di Indonesia. Selain itu, tak perlu pula mengikuti sistem hukum yang  diterapkan di berbagai negara maju. Kendati demikian, tuntutan konstitusi perihal keinginan adanya persamaan hak di depan hukum  alias equality before the law dan  tak terbendung. Begitu pula keterbukaan  dalam mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana di peradilan umum, maka  perlu dilakukan dengan mengedepankan prinsip win-win solution.

Reformasi peradilan militer

Instrumen hukum dalam proses hukum acara pidana dalam kekuasaan peradilan umum terdiri dari beberapa tahap. Yakni tahap  mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan proses persidangan. Tak behenti di situ, masih terdapat tahap pembinaan bagi para narapidana di lembaga pemasyarakatan (Lapas).

Nah tahap penyelidikan dan penyidikan bila ditelisik berdasarkan berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, praktiknya  tak saja dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan, namun pula oleh TNI Angkatan Laut, Bea Cukai, Imigrasi hingga Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Merujuk Pasal 1 angkat 6 KUHAP, maka pihak yang berwenang melakukan penuntutan hanyalah jaksa. Jaksa, merupakan pegawai Kejaksaan Republik Indonesia  yang bekerja tak saja  di lingkungan Kejaksaan RI, namun juga  lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sedangkan proses persidangan perkara pidana di peradilan umum, mulai di tingkat Pengadilan Negeri, Tinggi, hingga MA dipimpin oleh majelis hakim. Yakni majelis yang terdiri dari hakim karier dan ad hoc. Tentunya mereka para hakim yang berada di lingkungan MA. Sementara  amanah yang utama dalam Pasal 3 ayat (4) a TAP MPR No.VII/2000 adalah mengatur tentang Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum tunduk kepada peradilan umum.

Lantas peradilan umum menjadi bagian dari lingkungan peradilan di bawah MA yang fungsinya menjalankan kekuasaan kehakiman bagi mereka rakyat pencari keadilan. Kemudian banyak perkara  yang menjadi kewenangan peradilan umum untuk memeriksanya. Yakni, perkara-perkara yang bersifat umum.  Artinya,  ‘umum orang-orangnya’ dan ‘umum masalah atau kasusnya’.

Proses pidana di peradilan umum memang perkara yang dilimpahkan oleh Penuntut Umum (PU) yang bekerja dilingkungan Kejaksaan RI. Pada praktiknya, penuntut umum memang diberikan kewenangan oleh UU dalam rangka melimpahkan perkara pidana ke pengadilan. Selain itu, penuntut umum berkewajiban membuktikan sangkaan yang tertuang dalam surat dakwaan.

Mengulik penjelasan Pasal 57  UU Peradilan Militer, menyebutkan Oditur Jenderal bertanggungjawab kepada Jaksa Agung sebagai penuntut umum  tertinggi. Dengan begitu, maka Oditur Jenderal sejatinya secara struktur berada di bawah Jaksa Agung sebagai  Jaksa Agung Muda Militer.  Karena itulah, Jabatan Jaksa Agung Muda Militer dapat diberi kewenangan melimpahkan perkara di peradilan umum. Khususnya terkait dengan prajurit TNI yang melakukan dugaan tindak pidana umum.

Dalam rangka mewujudkan gagasan tersebut, maka tak dapat dipungkiri diperlukan revisi terhadap UU tentang Peradilan Militer. Lagi pula, UU tentang Peradilan Militer belaku sudah puluhan tahun belum mendapatkan amandemen menyesuaikan dengan perkembangan yang ada dan KUHP Militer. Setidaknya beberapa poin yang mesti direvisi.

Pertama,  penegasan perihal prajurit TNI  yang diduga melakukan tindak pidana militer diproses pidana melalui peradilan militer. Sementara terhadap prajurit TNI yang diduga  melakukan tindak pidana umum, maka  diproses pidana melalui peradilan umum. Kedua, penegasan terhadap  pasal-pasal di KUHP Militer bagi prajurit TNI, tetap berlaku sepanjang  mengatur tindak pidana militer. Begitu pula KUHP berlaku untuk prajurit yang melakukan tindak pidana umum.

Ketiga, memberikan  kewenangan kepada TNI untuk melakukan penyidikan yang khusus melakukan penyidikan terhadap prajurit TNI yang melanggar tindak pidana umum. Keempat, membentuk jabatan baru Jaksa Agung Muda militer dibawah Jaksa Agung untuk diberi tugas melakukan penuntutan terhadap prajurit yang diduga melakukan tindak pidana di peradilan umum.

Jabatan baru tersebut  merupakan jabatan yang dapat dirangkap oleh Oditur Jenderal sebagaimana yang berlaku di UU tentang Peradilan Militer  untuk melakukan penuntutan  terhadap prajurit yang melakukan dugaan tindak pidana militer di Peradilan Militer. Kelima, penegasan bahwa terpidana prajurit TNI menjalankan pidananya di Lapas militer.

Penulis : Dr. Reda Manthovani,.SH,.LLM adalah Tenaga Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here