Politik atau Fatawalaituk

Facebook
Twitter
Google+
Pinterest
Rektor UIN SMH Banten Prof. Dr. H. Fauzul Iman, MA. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Oleh: Prof. Dr. H. Fauzul Iman, MA.

Dalam pergaulan, acapkali kita mendengar kata siasat. Kata ini berasal dari Bahasa Arab. Menurut kamus al-Munjid fi al-Lughah wal ‘Alam, kata siyasah diartikan dengan ‘menangani atau membijaki suatu persoalan’. Atau dengan kata lain, bagaimana cara seseorang mensiasati persoalan kehidupan.

Sudah barang tentu setiap manusia yang hidup di dunia ini tidak akan mengingkari pentingnya arti siasat. Program kehidupan manapun di dunia ini –baik yang bersifat pribadi maupun kemasyarakatan–tanpa menggunakan siasat tidak mungkin akan terwujud.

Itulah sebabnya para ulama fiqh, jauh sebelum abad modern, telah merumuskan pemikiran cemerlangnya mengenai bagaimana program kehidupan ini disiasati (diatur) dengan rapi, bijak dan sistematis. Dalam beberapa kitab klasik, misalnya dijumpai gagasan para ulama tentang bagaiman mengelola keuangan dan urusan negara dengan bijak sehingga lahir istilah as-siyasah al-maliyah dan as-siyasah as-syari’iyah.

 Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah dalam bukunya I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin mengaitkan as-siyasah asy-syar’iyah sebagai kebijakan hukum (syari’ah), seperti antara lain kebijakan hukum dalam membolehkan seseorang shalat dalam keadaan duduk karena sakit (darurat).

Siasat yang dimaksudkan oleh para ulama itu, intinya mengandung misi yang mulia, yaitu ingin memberikan kemudahan kepada umat manusia agar hidup dengan keadaan tidak sempit, tertib, kompak dan aman, sehingga mereka mencapai kesejahteraan lahir dan batin. Ajaran mengenai siasat (kebijakan) seperti inilah yang dicita-citakan (diisyaratkan) Al-Qur’an: Dia (Allah) tidak menjadikan untuk kamu dalm agama suatu kesempitan (QS. Al-Hajj [22]: 78).

Di abad modern kita juga mengenal peran siasat dengan terminologi politik yang begitu penting digunakan untuk mempengaruhi dan mengamankan masyarakat, seperti adanya politik pemimpin, politik militer, politik dagang dan lain-lain. Namun amat disayangkan, sebagian dari masyarakat modern masih menggunakan politik ini hanya sebagai dalih kepentingan meraih posisi dan mereguk keuntungan pribadi.

Berbagai daya diupayakan untuk mensiasati masyarakat dengan kebijakan dan pernyataan-pernyataan yang manis. Iklan dan promosi dari perusahaan pun digelar dengan iming-iming yang sangat menggiurkan. Bahkan narasi kasar yang menyinggung lawan politiknya kerap meletus seperti kecebong, tampang Boyolali, politik kebohongan, sontoloyo, gendruwo dan lain lai. Politisi dengan segenap kroninya mensissati korupsi dana negara dengan menyulapnya menjadi dana optimalisasi. Sang penguasa mensiasati  proyek konglemerasi yang menekuk rakyat dengan dalih reklamasi demi keindahan kota dan kesejahteraan rakyat jelata.

Tanpa berpikir rasional masyarakat pun tunduk dengan tawaran yang memikat ini, yang pada akhirnya masyarakat juga yang telah menelan korban keganasan karena mereka telah dibodohi oleh cara bepolitik seperti itu.

Tampaknya di abad modern ini siasat telah diubah oleh beberapa pihak tertentu menjadi sebuah alat untuk ‘meliciki’ masyarakat, dan bukan sebagai kebijakan untuk megubah masyarakat menjadi sejahtera.

Dalam al- Quran dikenal kalimah tawalaytum yang artinya kalian berpaling. Bila ditambah huruf “fa” berarti maka kalian berpaling. Kata politik ini mirip dengan lalimat “fatawalaituk”. Artinya “kamu berpaling”. Al- Qurang dengan serius menceritakan keadaan orang Israil yang sudah  komitmen untuk menegakkan peraturan  lalu berulang-ulang dilanggarnya.    Gambaran ini tidak ubahnya dengan sebagian prilaku politk/politisi yang suka ingkar dan berpaling dari janji yang dibuatnya sendiri. Inilah yang kemudian kata politik dipelesetkn mnjdi mirip “fatawalaituk” untuk  menyindir betapa kondisi perpolitikan di negeri kita ini kerap terjadi penyimpngan/pelanggaran

Sungguh sangat ironis bila cita-cita yang diarahkan guna mencerdaskan dan meningkatkan sumber daya umat lalu dicemari oleh permainan politik yang justru membiarkan umat yang bodoh tetap bodoh, yang sengsara tetap sengsara dan yang cerdik menjadi semakin licik. “tidak akan masuk surge,” kata Nabi Saw, bahwa “orang yang suka menipu dan buruk wajah”. (HR. Tarmidzi). Akhirnya marilah kita belajar mensiasati hidup ini dengan bijak, jujur, dan sportif. Semoga!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here